Minggu, 09 September 2012

KISAH SEDIH SEORANG ISTRI SOLEHAH


Kisah Sedih Seorang Istri Solehah ❤


Mengharu biru; kekuatan kata istri shalehah dalam kisah ini begitu mengena. Catatan yang diambil dari page di sajadah cinta ini , semata-mata ingin menyebarkan manfaat yang terkandung dalam kisah ini. Semoga bermanfaat_

Sore itu, menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di masjid ini seusai ashar.. seorang akhwat datang, tersenyum dan duduk disampingku, mengucapkan salam, sambil berkenalan dan sampai pula pada pertanyaan itu. “anty sudah menikah?”. “Belum mbak”, jawabku. Kemudian akhwat itu .bertanya lagi “kenapa?” hanya bisa ku jawab dengan senyuman.. ingin ku jawab karena masih kuliah, tapi rasanya itu bukan alasan.

“mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya. “nunggu suami” jawabnya. Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya- tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya “mbak kerja dimana?”, ntahlah keyakinan apa yg meyakiniku bahwa mbak ini seorang pekerja, padahal setahuku, akhwat2 seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.

“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” , jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.

“kenapa?” tanyaku lagi.

Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah cara satu cara yang bisa membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.

Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya tersenyum.

Ukhty, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan didatangi oleh ikhwan yang sangat mencintai akhirat.

“saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari, es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya. Waktu itu jam 7 malam, suami baru menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Saya capek sekali ukhty. Saat itu juga suami masuk angin dan kepalanya pusing. Dan parahnya saya juga lagi pusing. Suami minta diambilkan air minum, tapi saya malah berkata, “abi, umi pusing nih, ambil sendirilah”.

Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya? Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci. Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi deman, tinggi sekali panasnya. Saya teringat atas perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air minum saja, saya membantahnya. Air mata ini menetes, betapa selama ini saya terlalu sibuk diluar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.”

Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yg di usapnya.

“anty tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 600-700rb/bulan. 10x lipat dari gaji saya. Dan malam itu saya benar-benar merasa durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya, dan setiap kali memberikan hasil jualannya , ia selalu berkata “umi,,ini ada titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah2an umi ridho”, begitu katanya.

Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong pada nafkah yang diberikan suami saya”, lanjutnya

“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu begitu susah menjaga harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya, dan gampang menyepelekan suami.” Lanjutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.

“beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua dan saudara-saudara saya tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja. Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan orang lain.”

Aku masih terdiam, bisu, mendengar keluh kesahnya. Subhanallah, apa aku bisa seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.

“kak, kita itu harus memikirkan masa depan. Kita kerja juga untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini besar. Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah. Salah kakak juga sih, kalo ma jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu”. Ceritanya kembali, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat.

“anty tau, saya hanya bisa nangis saat itu. Saya menangis bukan Karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya. Bagaimana mungkin dia meremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membangunkan saya untuk sujud dimalam hari. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan. Baigaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah dihadapannya hanya karena sebuah pekerjaan.

Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya. Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya. Semoga saya tak lagi membantah perintah suami. Semoga saya juga ridho atas besarnya nafkah itu. Saya bangga ukhti dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan itu. Kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tapi lihatlah suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya.

Semoga jika anty mendapatkan suami seperti saya, anty tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami anty pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku.

Dia mengambil tas laptopnya,, bergegas ingin meninggalkannku. Kulihat dari kejauhan seorang ikhwan dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, meninggalkannku. Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridho.

Ya Allah….

Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling baik dalam hidupku.

Pelajaran yang membuatu menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam benakku..

Subhanallah..

Sahabat..
Kekeliruan slama ini, orang mengganggap kebahagiaan itu adalan kaya akan materi.. mobil mewah.. rumah bagus..
Tapi sesungguhnya kekayaan sebanarnya itu ada saat kita merasa cukup akan nikmat ALLAH walaupun tampa ada materi yang bersifat wah..





Jakarta - Cukup banyak orang yang merasa merana atau galau saat putus cinta. Saking galaunya, berbagai hal negatif bisa mereka lakukan mulai dari lupa makan hingga ingin bunuh diri. Ini pengalaman mereka yang sangat galau gara-gara patah hati.

Anita, 21 Tahun

Anita putus dari kekasihnya sebut saja Damar pada April 2010 lalu. Damar adalah seniornya di kampus yang usianya dua tahun lebih tua darinya. Hubungan mereka berakhir setelah terjalin selama dua tahun tiga bulan. Damarlah yang memutuskan cintanya dari Anita.

"Alasannya nggak jelas. Mungkin karena jenuh, tapi dia juga bilang tidak bisa menerima kekuranganku, dia bilang ada sifat-sifatku yang bikin dia nggak suka dan sempet bikin aku jadi down banget," kisah mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri itu saat berbincang dengan wolipop Rabu (13/6/2012).

Diputuskan oleh seseorang yang sangat disayanginya dulu, membuat Anita jadi tidak percaya diri dan terus menyalahkan diri sendiri. Bahkan dukungan teman-teman baiknya pun tidak cukup, dia mengaku akan kembali sedih jika tidak dikelilingi orang lain.

Puncak kegalauannya terjadi ketika Anita sempat beberapa hari tidak masuk kuliah dan hanya menyendiri di kamar kosnya. Setelah beberapa hari absen kuliah, dia tiba-tiba harus dirawat di rumah sakit karena gangguan pada lambungnya yang disebabkan kurangnya cairan dan makanan yang dikonsumsi.

Tidak sampai di situ, bahkan Anita sempat menanyakan masalah cintanya ini ke peramal tarot terkenal di daerah Kelapa gading dengan harga yang tidak murah. "Yah sampai keperamal soalnya penasaran, dan tahu kalau dia mungkin masih sayang sama kita itu bikin perasaan lebih baik gitu," jelas Anita.

Vira, 21 Tahun

Putus cinta karena terhalang restu orangtua juga dialami Vira dan mantan kekasihnya Yogi. Keduanya mengakhiri hubungan asmara mereka pada Februari 2011 lalu, setelah pacaran selama sembilan bulan. Meski belum lama pacaran, bagi Vira, hubungannya dengan Yogi sangat berarti.

Vira terpaksa putus dari Yogi karena orangtuanya tidak memberi restu. Yogi dianggap memberi pengaruh buruk padanya. Saking tidak setujunya, orangtua Vira sampai meneror Yogi untuk menyuruh mengakhiri hubungan tersebut. Tekanan orangtua Vira itulah yang membuat Yogi tertekan dan mau tidak mau harus menjauhi mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta tersebut.

Putus di saat cintanya pada Yogi masih begitu besar membuat Vira kehilangan akal. Saat merasa sangat sedih itu, dia pun melukai tangan kirinya dengan cutter, tidak lama setelah Yogi mulai menjauhinya. “Aku nyiletin tangan pakai cutter karena emosi yang terlalu meluap, kesal sama keadaan dan situasi. Nggak tahu mau nyalahin siapa selain kesal sama diri sendiri,” ungkap Vira saat berbincang dengan wolipop Rabu (13/6/2012).

Vira melakukan 'kegilaan' tersebut saat dia hanya sendirian di rumah. Untungnya, tidak lama setelah kejadian, adiknya tiba di rumah dan segera menolong Vira. Wanita kelahiran 13 Juni 1991 itu tidak sampai dibawa ke rumah sakit. Hanya saja, walau sudah diobati, luka akibat goresan cuter tersebut masih meninggalkan bekas di tangannya.

"Waktu itu rasanya kayak mau mati saja," kata Vira yang hingga kini masih belum bisa move on dari perasaan kehilangannya terhadap Yogi.

Apa yang dialami Vira & Anita di atas menurut psikolog Rosdiana Setyaningrum memang bisa saja terjadi pada siapapun yang pernah kehilangan pasangan. Kenapa ada orang yang sampai melakukan hal ekstrim hanya karena putus cinta?

"Karena kehilangan pasangan tingkat stresnya lebih tinggi daripada kehilangan pekerjaan atau yang lainnya," jelas psikolog yang akrab disapa Diana itu saat berbincang dengan wolipop melalui telepon Kamis (14/6/2012).

Namun tingkat stres orang yang kehilangan pasangan karena putus cinta ini bisanya berbeda dari mereka yang sudah menikah. Istri atau suami yang kehilangan pasangannya, memiliki tingkat stres lebih tinggi.

"Tapi bagaimanapun juga yang namanya pacar itu kan mungkin sudah dekat sekali, sudah punya harapan lebih. Pada saat itu dia masih merasa cinta sekali, jadi dia bisa melakukan hal-hal ekstrim," tutur Diana.

Hanya saja, menurut Diana, sebenarnya mereka yang putus cinta seharusnya tidak sampai melakukan hal ekstrim selama bisa mengatasi kegalauannya dengan cepat.